SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Sinar matahari masih malu-malu keluar di ufuk timur ketika tebalnya kabut terus memeluk kawasan di kaki Gunung Tilu, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Banung, Jawa Barat. Sambil merapatkan jaket untuk menghangatkan badan di tengah udara dingin menusuk tulang, Kokom dan lima rekannya mempercepat langkah menuju hamparan hijau kebun teh mirip permadani alam.

Punggung pria 27 tahun itu disesaki ransel hitam lusuh terisi botol air minum, kotak bekal, dan satu baskom penyaring berdiameter 15 sentimeter sebagai wadah menaruh pucuk teh hasil petikan. Mereka perlu waktu sekitar 15 menit berjalan kaki menyusuri punggung lereng perbukitan hijau di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) sebelum tiba di area petik pagi.

Alih-alih langsung bekerja, Kokom dan rekan-rekannya memilih membuka bekal sarapan sebelum menjalankan rutinitas harian. Senda gurau dalam bahasa Sunda pun terlontar dari bibir mereka sebelum gelak tawa lepas sedikit menggema memecah keheningan pagi. Halimun masih menggayut di permukaan hamparan hijau perkebunan seluas hampir 400 hektare tersebut.

Tak lama, sinar mentari mulai berjalan pelan meninggalkan peraduannya, menembus kabut menyisakan garis-garis vertikal menghujam ke tanah. Ini jadi pertanda Kokom dan kawan-kawan harus menyudahi rehat untuk memulai pekerjaan rutin mereka pagi itu, memetik pucuk teh.

Tak seperti pemetik teh lainnya yang berjumlah ratusan orang di kawasan sejuk bersuhu 16-20 derajat Celcius tersebut, Kokom adalah pemetik spesialis teh putih. Mendengar namanya, tentu tidak semua orang tahu mengenai teh putih atau dikenal juga sebagai white tea. Namun, bagi penggemar minum teh, varian satu ini tergolong premium dan elite. Sesuai namanya, teh putih berwarna keabuan hijau pucat dengan seduhan berwarna kekuningan.

Aromanya lebih lembut dibandingkan teh hitam, teh hijau, dan teh oolong yang merupakan varian lain dari tanaman bergenus Camellia sinensis tersebut. Selain lebih lembut dan harum, rasa sepat pada teh putih juga cukup ringan. Secara kasat mata, teh putih yang belum diseduh akan berwarna hijau keabuan.

Ini karena berasal dari proses pengeringan yang dilakukan secara manual, tanpa alat, dan hanya mengandalkan sinar mentari. Bubuk keabuan yang menempel pun berasal dari bulu-bulu halus atau trikhoma di pucuk teh yang ikut mengering. Karena hanya berasal dari pucuk teratas, teh ini menyerupai gulungan daun berukuran 2--3 sentimeter.

Bentuknya yang memanjang dan keabuan inilah yang kemudian kerap disebut sebagai silver needle atau jarum perak, yakni teh putih berkualitas nomor satu yang dipasarkan Indonesia. Silver needle yang penampilannya menarik hanya didapat dari klon-klon teh dengan trikhoma atau bulu daun lebih banyak. Sebab, banyak atau sedikitnya trikhoma berkorelasi positif dengan kualitas atau cita rasa hasil seduhan.   

Menurut peneliti post-harvest and engineering dari Pusat Penelitian Teh dan Kina, Hilman Maulana, teh putih telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1878. Teh putih berasal dari peko, yaitu kuncup atau pucuk teratas daun teh yang masih menutup. Peko dipetik dengan tangan kosong dan dijaga agar tidak rusak sebelum masuk dapur produksi.

Sebagaimana umumnya varian lain Camellia sinensis, pucuk teh putih harus dipetik pada pagi hari hingga waktu matahari masih sepenggalah atau sekitar pukul 8.00. Ini agar kuncupnya tidak segera mekar. Umumnya, dalam satu hektare kebun teh dengan masa tumbuh pucuk selama 30 hari, akan didapat sekitar 7--8 kilogram peko.

Setelah dikumpulkan oleh para pemetik teh, peko-peko segar akan langsung dibawa ke pabrik untuk dilayukan di bawah sinar matahari. Dibutuhkan sekitar tiga sampai empat hari guna melayukan pucuk teh. Namun, proses pelayuannya pun tidak asal jemur. Pucuk teh dilayukan dan dijemur hingga berwarna keabuan dengan suhu yang dijaga pada kisaran 60 derajat Celcius.

Halaman :
Tags
SHARE